KEHIDUPAN SUKU KAJANG
DI SULAWESI SELATAN
Suku Kajang
atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa adalah sebuah suku yang terdapat
pada kebudayaan Sulawesi Selatan. Masyarakat Kajang bisa di jumpai pada
Kabupaten Bulukumba lebih tepatnya kecamatan Kajang. Sebuah Suku Klasik yang
masih kental akan adat istiadatnya yang sangat sakral.
Suku Kajang
adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan.
Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba.
Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka
menyebutnya, Tana Toa. Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok,
Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa
di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di
dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala
aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat. Meskipun suku Kajang
terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu
hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan
ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup
dengan alam dan para leluhur.
Masyarakat
adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50
km. Bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini
sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku kajang. Mereka menjauhkan
diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan
ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Di dalam setiap rumah warga
Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun
kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti
Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang
dengan alam dan para leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap
sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur.
Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah.
Hitam
merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki
kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna
bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk
kesamaan dalam kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang
satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan
kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan
dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian
hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan. Pakaian hitam
ini ditenun sendiri oleh masyarakat di sana dengan bahan alami dan alat-alat
yang sederhana. Konon, sarung hitam yang memang asli diproduksi dari kawasan
adat Kajang ini dapat dijadikan obat dengan memakainya saja atau menggosokkan
pada bagian yang sakit.
Suku
Kajang Dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding
penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah Adat Suku Kajang
bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masayarakat
bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan
disekitar untuk membuatnya. Dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang harus
mematuhi beberapa aturan adat yang berlaku. Salah satunya, mereka hanya boleh
membangun rumah dari kayu. Rumah tidak
boleh dari batu bata ataupun tanah. Bagi mereka, hanya orang matilah yang
diapit tanah. Sementara rumah untuk tempat orang hidup. Jika rumah dari batu
bata ataupun tanah, meskipun penghuni rumah itu masih hidup, mereka akan
dianggap mati oleh seluruh masyarakat Kajang.
Semua
rumah warga dibangun dari bahan yang sama. Bangunan rumahnya terbuat dari kayu.
Sementara atapnya terbuat dari ijuk. Tidak hanya bahan, bentuk rumahnya juga
sama. Bahkan model dalam rumah pun sama. Rumah adat kajang tidak seperti rumah
pada umumnya, karena saat masuk pertama kali, yang dijumpai adalah dapur,
kemudian ruang tamu. Rumah- rumah tersebut antara dapur dan ruang tamunya tidak
bersekat. Ini juga merupakan symbol penghormatan dan keterbukaan pada tamu,
yang berarti apapun yang dimakan oleh sang empunya rumah, maka tamu juga berhak
memakannya. Konon, konsep ini tidak hanya menunjukkan kesederhanaan. Mereka
juga menganggapnya sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada
keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara masyarakat Suku Kajang.
Rumah-rumah
panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada
di Dusun Benteng tempat rumah Ammatoa berada. Tampak beberapa rumah yang
berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali
setinggi satu meter. Rumah Ammatoa berada beberapa rumah dari utara.
Persamaan
lainnya adalah umumnya mereka hidup dengan bertani dan beternak. Biasanya
mereka menanam padi, palawija, dan sayur-sayuran. Sedangkan hewan peliharaannya
kebanyakan kuda, sapi dan ayam.
Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam. Sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak. Hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah itu. Cara tersebut sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.
Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam. Sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak. Hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah itu. Cara tersebut sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.
Terkait
dengan penghormatan atas tanah, hutan yang juga merupakan bagian kawasan adat
ammatoa, mempunyai arti yang sakral. Bagi masyarakat adat, kawasan adat ammatoa
terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah hutan rakyat yang luasnya sekitar
98 hektare. Kawasan ini digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula. Kawasan
kedua disebut hutan kemasyarakatan seluas 144 hektare. Hutan di lokasi ini
boleh digarap, dengan syarat terlebih dahulu menanam bibit pohon pengganti,
sebelum sebuah pohon ditebang. Kawasan terakhir adalah hutan adat atau hutan
pusaka seluas 317 hektare yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual
pemilihan ammatoa pada saat pergantian kepemimpinan. Bagi masyarakat adat,
mematahkan ranting saja haram hukumnya. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi
berat, misalnya dikeluarkan dari komunitas adat atau diyakini bakal mendapat
malapetaka, karena melanggar pesan leluhur.
Di
Tana Toa, orang pertama tersebut dikenal dengan nama Ammatoa, tetua adat Suku
Kajang. Bagi mereka, Ammatoa dianggap sebagai orang suci. "Suara alam
adalah suara Tuhan" merupakan pedoman warga Suku Kajang yang tinggal di
pedalaman Bulukumba, Sulawesi Selatan,
dalam memilih pemimpin adat mereka. Kepercayaan ini membuat seorang pemimpin
adat yang kerap disebut Ammatowa sebagai orang suci. Ammatoa sangat dihormat
dan sangat dipercaya, terutama untuk menjaga Pasangnga Ri Kajang. Kepercayaan
yang terpenting adalah menjaga kelestarian hutan, karena hutan merupakan jiwa
dan kehidupan warga Kajang.
Menjadi
seorang Ammatoa membutuhkan pengorbanan besar. Rakyat percaya bahwa sang
Ammatoa adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran bila penduduk Tana Toa
mengalami kemakmuran, namun menjadi orang pertama yang akan merasakan
kemiskinan. Menjadi seorang Ammatoa tidak mudah, jabatan seumur hidup.
Pengangkatannya melalui beberapa ritual. Pemilihan Ammatoa dapat dikatakan
cukup mistis. Upacara adatnya disebut Panganro. Saat penduduk memilih beberapa
calon untuk menjadi Ammatoa, para calon tadi berjalan masuk ke hutan. Tidak
seorang pun yang hingga saat ini mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan.
Konon, hanya calon yang terpilihlah yang mampu masuk ke dalam hutan dan kembali
dengan selamat. Masyarakat percaya bahwa Ammatoa dipilih sendiri oleh Turiak
Rakna atau Tuhan sendiri, lalu diberikan kemampuan untuk menjaga kelestarian
hutan dan berkomunikasi dengan para leluhur penjaga hutan. Apabila Ammatoa
meninggal (bahasa Kajang: linrung), maka seorang pejabat adat baru akan ditunjuk
untuk memimpin selama 3 tahun, setelah itu seorang Ammatoa baru dapat dipilih
oleh warga.
Di
bawah kepemimpinan Ammatowa dan kelima pemuka adat, kebiasaan-kebiasaan leluhur
tetap dijalankan. Justru dengan kebiasaan ini swasembada segala faktor
kehidupan dapat terus berjalan. Menurut kepala desa, salah satu kebiasaan yang
harus dijalankan adalah kewajiban seorang wanita membuat pakaian untuk anggota
keluarganya. Masyarakat Kajang juga diwajibkan untuk menghormati tanah
leluhur. Salah satunya, hutan. Mereka menganggap hutan sebagai ibu. Oleh
masyarakat Kajang, ibu dianggap sebagai orang yang harus selalu
dihormati. Sebagai wujud penghormatan, mereka diwajibkan untuk menjaga
dan memelihara hutan. Jika ada warga yang menebang hutan secara liar, ia
akan dikenakan sanksi adat. Karena mereka percaya, menebang hutan secara
liar akan membuat Turiek Arakhna (Turi Arakna) murka. Kemurkaan-Nya akan
membawa kutukan bagi masyarakat Kajang. Kutukan itu dapat berupa penyakit
bagi orang yang menebang hutan. Mereka juga percaya, kutukan itu juga dapat
berupa musibah atau bencana bagi Tana Toa.
Selain
percaya terhadap adat Ammatoa, Suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama.
Namanya, ajaran Patuntung. Dalam bahasa Makassar, Patuntung berarti
mencari sumber kebenaran. Berdasarkan ajaran Patuntung, jika manusia
ingin mencari kebenaran harus menjalankan tiga pilar hidup. Pertama,
menghormati Turiek Arakhna (Turi Arakna) yaitu Tuhan. Kedua, masyarakat Kajang
juga harus menghormati tanah yang diberikan Tuhan. Dan yang ketiga yaitu
menghormati nenek moyang. Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tuhan
merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam ajaran agama Patuntung.
Mereka percaya, Turiek Arakhna adalah Tuhan Yang Maha Kekal, Mengetahui,
Perkasa dan Maha Kuasa. Mereka menyakini, Turiek Arakhna menurunkan perintah
kepada orang pertama.
Dalam
ajaran agama Patuntung, suku Kajang juga diwajibkan untuk menghormati nenek
moyang atau roh para leluhur. Begitu hormatnya, setiap tahun mereka
selalu mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur. Mereka
menyebutnya, ritual bersih kubur.
Di
kalangan masyarakat Suku Kajang, ritual Bersih Kubur memiliki arti penting.
Mereka menganggap, ritual ini sebagai wujud komunikasi masyarakat Kajang dengan
roh leluhur. Begitu pentingnya, setiap keturunan Suku Kajang harus hadir
ketika ritual ini dilaksanakan. Bahkan meskipun telah tinggal di luar
Tana Toa, ia harus tetap datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek
moyang.
Setiap
tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan
dalam Hijriah. Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang
berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa
pertama suku Kajang. Ritual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu
menjadi bagian terpenting. Dalam ritual, Kemenyan menjadi simbol bahwa restu
dari leluhur selaui menyertai kehidupan masyarakat Kajang. Sementara doa
menjadi simbol penghormatan kepada roh leluhur. Ketika ritual Bersih
Kubur dilaksanakan, mereka juga selalu memberikan sesaji berupa sirih pinang.
Sesaji itu dipersembahkan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur. Sebagai penutup acara, mereka juga
melaksanakan acara makan bersama di rumah tetua adat. Acara makan bersama
dilaksanakan pada malam hari. Bagi mereka, makan bersama menjadi tanda
bahwa seluruh rangkaian ritual telah usai dilaksanakan. Tak hanya itu,
makan bersama juga menjadi simbol bahwa hingga kini, masyarakat Kajang tetap
melaksanakan pesan leluhur.
Turun
temurun, masyarakat Suku Kajang di Tana Toa tetap menjalankan ajaran
Patuntung. Aturan adat Ammatoa juga selalu mengikat setiap aktifitas
kehidupan mereka. Konon, ajaran dan aturan itulah yang membuat mereka
selalu hidup sederhana. Kesederhanaan menjadi wujud kebersamaan. Dan
kebersamaan itulah yang membuat Suku Kajang selau hidup rukun dan berdampingan.
Di
Tana Toa, masyarakat Kajang tidak hanya diwajibkan untuk patuh terhadap ajaran
agama Patuntung dan Ammatoa. Mereka juga wajib untuk menghormati kaum
perempuan. Posisi perempuan di dalam adat sangat-sangat dihormati. Salah satu
contoh adalah apabila di sebuah sumur ada perempuan, maka laki-laki tidak boleh mendekati sumur itu. Setelah kaum wanita selesai mandi atau menyelesaikan
hajatnya dan mengambil air untuk pulang, baru laki-laki boleh kesana. Dan kalau
tidak dipatuhi maka akan ada denda sebagai pelanggaran asusila. Sebab terdapat
pantangan, laki-laki tidak boleh mendekati seorang wanita di sumur. Hukumannya
itu bisa nyawa.
Membuat
pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat melangsungkan
pernikahan. Sehingga dalam kehidupannya wanita tanpa keahlian membuat pakaian,
tidak dapat menikah. Pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional, mulai
dari pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar
kain. Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat
kain dan memasak. Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan
membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu
ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga.
Luasnya
sawah milik warga Suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggal merupakan
suatu anugrah tersendiri. Dengan luasnya sawah yang menghasilkan berton-ton
padi setiap tahun, warga Suku Kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan.
Anugrah ini sangat disyukuri oleh segenap warga. Sehingga setiap usai panen
mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih
kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung
oleh Ammatowa.
Di
sawah milik Ammatowa ini persiapan upacara Rumatang mulai dilakukan sejak pagi
hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah
gubuk milik Ammatowa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan
untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama. Persiapan di tepi sawah
ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang telah mengetahui jenis makanan yang
harus dipersiapkan untuk sesaji. Dibawah petunjuknya, kaum wanita mulai memasak
berbagai jenis makanan, termasuk nasi dengan empat warna.
Di
saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria juga mulai mengikat padi
hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai diikat, padi hasil panen
ini dijemur di bawah terik matahari. Tengah hari, merupakan pertanda upacara
harus dilangsungkan. Sebelum memulai upacara puncak, warga Suku Kajang
berkumpul dibawah bilik untuk makan siang bersama. Uniknya makan siang di tepi
sawah ini mempunyai syarat tertentu. Nasi yang dipersiapkan harus dari beras
hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur
mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras
khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib
meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan.
Usai
makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa padi yang telah diikat menuju
ke desa mereka. Padi mereka bawa dengan menggunakan sebilah kayu. Mereka
berjalan menyusuri pematang sawah dengan menempuh jarak sekitar 10 kilometer.
Namun beban berat dan berjalan jauh tidak mereka rasakan karena rasa senang
akan hasil panen yang berlimpah. Setelah kaum pria kembali ke sawah, upacara
"rumatang" yang mempunyai arti ucapan syukur kepada Maha Pencipta
dimulai. Mereka berkumpul di bawah bilik untuk mengucapkan doa dan memberkati
sesaji yang akan di persembahkan kepada Tuhan.
Delapan
buah sesaji yang telah dipersiapkan mulai disusun di bilik di tepi sawah.
Sesaji berupa nasi empat warna, lauk pauk, buah-buahan ini diberkati oleh Ammatowa
dalam upacara Rumatang. Usai diberkati, sesajen ini dibawa oleh warga ke
delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin. ada yang diletakkan di sawah
dan ada juga yang ditempatkan di sumber air. Peletakan sesaji ini bermakna
hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja. Melainkan tanah, angin dan
semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut merasakan hasilnya.
Ingin sekali di berikan kesempatan berkunjun ke sana
BalasHapus