A. LATAR BELAKANG
Permasalahan
yang sering kita hadapi ketika tibanya musim hujan adalah banjir, banjir
merupakan bencana alam yang sangat merugikan baik materiil maupun non materiil,
kerusakan pemukiman, lahan pertanian serta infrastruktur lain dan terganggunya
aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Beberapa
literatur menyebutkan, penyebab banjir ada banyak faktor, antara lain karena
perubahan lahan, erosi & sedimentasi, bangunan atau permukiman di tepi
sungai, perencanaan penggunaan lahan yang kurang baik, sistem drainase yang
buruk, curah hujan yang tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai, pengaruh
air pasang, dan global warming.
Secara
umum, banjir yang terjadi karena ketidakmampuan tanah untuk menyerap limpahan
air hujan yang jatuh ke tanah. Pendangkalan dan perubahan berbagai penampung
air seperti sungai, waduk, danau dan lainnya terus terjadi sehingga badan air
tersebut tidak mampu lagi menampung air hujan. Meluapnya sungai sering menjadi
penyebab terjadinya banjir.
Demikian
juga yang terjadi di Wasior. Sungai Batang Salai dan beberapa anak sungai lain
yang berhulu di Pegunungan Wondiwoy dan mengalir membelah Kota Wasior meluapkan
air karena tingginya curah hujan sejak beberapa hari sebelumnya. Luapan air
bercampur batang pohon, lumpur, kayu, batu, dan material lainnya inilah yang
memporak-porandakan Wasior.
Kondisi geografis Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua
Barat, tergolong rentan bencana banjir bandang. Daerah tersebut berupa bentang
alam datar dan luas, tepat di mulut lembah sungai pada kaki perbukitan yang curam.
Pada daerah hulu memiliki ketinggian > 1000 m dpl, sedangkan daerah daratan
paling rendah memiliki ketinggian < 200, dengan luas wilayah yang tidak
terlalu besar sehingga menyebabkan lereng sangat
curam dan jika terjadi banjir atau longsor efeknya bisa merusak karena meluncur
di kemiringan yg curam. Dengan topografi curam
dan tingkat kerentanan longsor yang
tinggi, hutan lebat bukan berarti bisa menjamin tidak akan terjadi longsor
ketika terjadi cuaca ekstrem seperti sekarang ini. Lokasi Wasior berada di bagian bawah cagar alam Wondiboy.
Cagar alam itu konturnya curam dan berupa pegunungan. Daerahnya curam dan
perubahan cuacanya juga cepat. Kondisi tanah di Wasior cepat rapuh dan lembek.
Kondisi tanah yang demikian, merupakan pengaruh akibat terlalu dekat dengan
hutan cagar alam yang memang gembur tanahnya.
Papua Barat memang memiliki topografi yakni gunung curam.
Oleh karena itu, banyak kawasan cagar alam atau konservasi. Karena topografinya
yang curam, kawasan ini apabila penggunaan lahannya salah, akan menyebabkan
longsor.
A. FAKTOR PENYEBAB BANJIR DI WASIOR
Banjir bandang yang melanda Wasior, Teluk
Wondama, Papua Barat, adalah hasil dari anomali cuaca. Salah satu penyebab
terjadinya anomali cuaca adalah munculnya La Nina ketika suhu muka laut di
barat wilayah khatulistiwa Pasifik mendingin. Dampaknya, hujan deras pada musim
kemarau seperti sekarang ini masih saja terjadi. Disamping kemampuan wilayah
yang tidak seimbang menangkap air hujan, banyak wilayah di Indonesia yang juga
tinggi kerentanannya, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Penyebab banjir bandang di Wasior, Papua
Barat, bukan disebabkan pembalakan liar atau illegal
logging. Melainkan adanya evolusi morfologi atau perubahan bentuk
tanah yang terjadi di lokasi bencana. Hutan yang berada perbukitan merupakan
cagar alam sekaligus hutan produksi terbatas. Tidak ada perusahaan HPH (Hak
pengelolaan hutan) yang beroperasi di hutan perbukitan tersebut. Termasuk
penebangan liar, mengingat topografi hutan perbukitan itu yang tergolong curam.
Hal itu juga didasarkan pada perbandingan citra satelit antara tahun 2000 dan
2009 yang menunjukkan bahwa tutupan lahannya hanya berubah satu persen. Hampir 95 persen hutan primer masih dalam kondisi bagus. Tidak
terlihat adanya areal terbuka yang mengindikasikan adanya penebangan liar.
Aktivitas manusia di pegunungan dan DAS sangat minim karena kondisi topografi
yang sangat curam. Hal itu diperkuat dengan fakta bahawa hutan di Wasior
merupakan cagar alam sehingga sangat dijaga dan diawasi dengan ketat sehingga
kecil kemungkinan ada kegiatan hak penguasaan hutan di sana.
Dari segi tutupan lahan di wilayah tersebut
tidak ada aktivitas illegal loging dan hutan di sana masih terjaga serta
termasuk hutan konservasi, fenomena terjadinya longsor di hulu-hulu sungai ini
sangat dimungkinkan mengingat topografi di Papua terkenal sangat curam. Untuk
wilayah di sekitar Wasior sendiri, memang terdapat pegunungan-pegunungan yang
memanjang dengan ketinggian rata-rata 1.800 meter. Dari data citra satelit yang
didapat pada tahun 2009, tutupan hutan di wilayah tersebut adalah sebesar 91,32
persen. Ilegal logging pun sangat sulit dilakukan di sana karena aksesnya
sangat susah. Kalaupun ada penebangan pohon, hanya dilakukan oleh penduduk
sekitar untuk kebutuhan mereka sehari-hari dan skalanya pun kecil.
Bencana banjir bandang di Wasior dipicu
kondisi bentang alam berupa perbukitan tektonik. Wasior dilewati oleh lempeng
Australia sehingga banyak terjadi patahan atau tanah amblesan. Bagian hulu DAS
Manggarai menunjukkan bekas amblesan, sehingga membentuk lembah di antara perbukitan.
Gempa di perbukitan tektonik itu berpotensi merontokkan batuan di tebing.
Longsoran itu berpotensi membendung lembah.
Gempa juga menyebabkan terjadi perubahan
struktur tanah di mana sebagian diantaranya menutupi aliran sungai sehingga air
meluap. Perubahan bentuk tanah yang terjadi berulang-ulang di wilayah datar dan
terjal menyebabkan kondisi alam tidak seimbang.
Karena letak kota Wasior yang berada didataran rendah di bawah kaki
gunung sehingga mengakibatkan sejumlah sungai yang berada di sekitar Wasior,
Papua Barat meluap dan mengalir deras ketika curah hujan tinggi.
Longsoran
tanah akibat gempa yang menyebabkan banjir bandang di Wasior menyumbat sungai.
Timbunan tanah dan batang pohon yang terangkat dari dasar sungai membuat dampak
banjir sedemikian merusak. Analisis dari citra satelit yang didapat menyimpulkan
bahwa wilayah sejauh 6 – 7 km dari Wasior merupakan penyebab terjadinya banjir
bandang. Di wilayah tersebut terdapat dua pertemuan sungai yang tersumbat
karena longsoran yang membentuk bendungan atau timbunan. Selain itu, sebelum
hujan melanda Wasior, juga terjadi gempa di Kaimana, Papua Barat dengan 7,2
skala richter yang diikuti oleh gempa-gempa kecil. Gempa tersebut memicu
rapuhnya struktur tanah di wilayah tersebut.
Penyumbatan
tersebut dianalisa disebabkan adanya gempa yang terjadi sebelumnya, sehingga
membuat tanah menjadi longsor. Sumbatan tersebut akhirnya menjadi bendungan alami sungai.
Dengan lereng yang demikian curam, ketika bendungan tak sanggup menahan massa
air yang bercampur dengan lumpur, batu, dan kayu atau pohon, air akan meluncur
dengan cepat mengikuti gaya gravitasi. Fenomena tersebut dikenal dengan aliran
debris (debris flow) yang bersamaan dengan banjir bandang (flash flood).
Banjir bandang yang terjadi
di Wasior hanya berlangsung beberapa menit saja. Demikian pula saat surutnya
debit berlangsung sangat cepat. Hal ini menunjukkan bahwa ada volume air besar
yang berada di hulu yang menggelontor dengan cepat dan waktunya bersamaan. Tiga sungai yang ada, yaitu Sungai Sanduai, Sungai
Anggris, dan Sungai Manggarai meluap dan bendungan yang terbentuk ini akhirnya
tidak kuat menahan air. Terlebih lagi dengan karakteristik sungai di sana yang
berbentuk huruf V. Air kemudian meluncur dengan kecepatan tinggi dan volume
yang besar. Air limpasannya mengalir sedemikian
kencang akibat lintasan sungai yang relatif lurus memanjang. Kencangnya arus
air itu yang kemudian membongkar timbunan tanah dan batang-batang pohon sisa
longsoran yang menyumbat sungai dan menghantam desa-desa di sekitar sungai.
Bukti bahwa tanah dan batang pohon yang terbawa banjir
adalah sisa longsor akibat gempa, dapat dilihat dari fisik gelondongan kayu.
Secara kasat mata terlihat bahwa gelondongan yang masih utuh berikut dengan
akarnya itu sudah tidak lagi dibungkus kulit kayu utuh. Artinya kayu sudah lama
terendam air hingga kulit lapuk dan habis. Kalau hanya karena hujan, kulitnya
tidak akan terkelupas. Artinya kayu hasil longsor masuk ke sungai dan
terbendung lama atau menyumbat di sungai. Kayu-kayu gelondongan yang terseret
banjir itu bukan merupakan hasil penebangan liar hutan cagar alam sekitar
Wasior. Sebab batang pohon hasil tebangan tidak mungkin menyertakan
akar-akarnya secara utuh seperti yang kini bergeletakan di Wasior.
Hujan selama enam jam yang
didahului hujan empat hari sebelumnya tidak mungkin menghasilkan debit air
banjir seperti yang terjadi. Air diduga merupakan air banjir normal ditambah
akumulasi limpasan yang tertahan sumbatan palung akibat tanah longsor. Tingginya curah hujan membuat dua danau kecil yang berada di
pegunungan sekitar kota Wasior meluap hebat. Arus air menjadi sedemikian
kencang seperti gelombang tsunami, sebab jalur sungai yang mengalirkan air
danau berbentuk lurus.
Curah hujan yang tinggi,
lereng yang curam di daerah hulu, rawan menyebabkan tanah longsor. Sementara
itu, barisan pegunungan di Kabupaten Teluk Wondama yang memiliki ketinggian
rata-rata 1.800 di atas permukaan laut (dpl), terdapat banyak sungai dengan
topografi sangat curam menuju pantai sebelah barat. Topografi daerah aliran
sungai (DAS) di kawasan tersebut dikategorikan kelas curam hingga sangat curam
karena penampang sungai sebagian besar berbentuk V. Di kiri-kanan sungai
merupakan lereng dari pegunungan yang sangat terjal. Kondisi demikian sangat
memungkinkan timbulnya sumbatan sungai akibat adanya material longsoran.
Total curah hujan yang
tertahan di dalam pepohonan itu hanya 15 persen. Sementara itu, karena curah
hujan yang berat bisa menyebabkan tanah jenuh. Apabila jenis tanah tersebut adalah
batuan yang rapuh, maka peristiwa longsor akan mudah sekali terjadi. Curah hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya longsor
di hulu sungai. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa wilayah tersebut merupakan
daerah patahan dan jenis tanah di sana mudah sekali tererupsi.
Selain itu, adanya tata ruang yang kurang tepat menjadi
salah satu faktor penyebab banjir bandang. Wasior seharusnya merupakan zona
penyangga yang disebut dengan Hutan Produksi Terbatas. Di zona itu pula, tidak
diperbolehkan secara sembarangan mengalihkan fungsi. Wasior tidak tepat untuk
dijadikan pemukiman padat atau dijadikan kota karena ini kawasan hutan produksi
terbatas. Artinya, kalau ada penduduk yang akan bermukim tetap harus ada
pengelolaan lingkungan yang ketat. Penataan suatu ruang harus mengikuti kaedah
lingkungan sesuai kaidah kawasan hutan produksi tetap dan kawasan cagar alam.
Hujan yang melanda secara terus-menerus, membuat hutan
resapan air yang mulai menipis, sangat sulit untuk menahan beban air yang besar
akibat hujan terus-menerus. Papua Barat memiliki kerentanan terhadap bencana
ekologis. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan secara masif di kawasan itu. Ini
berarti perubahan lahan ternyata menduduki rangking pertama dalam menyebabkan
banjir di suatu kawasan daripada penyebab lainnya. Apabila suatu hutan yang
berada dalam suatu daerah aliran sungai (DAS), misalnya, diubah menjadi
permukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat sampai 20 kali. Tentu saja
besar kecilnya peningkatan debit yang bersumber dari run-off (aliran permukaan)
ini tergantung dari jenis hutan dan jenis permukimannya.
Perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi dominan
kepada aliran permukaan. Perlu diketahui bahwa hujan yang jatuh diatas
tanah, sebagian meresap ke dalam tanah dan sebagian lainnya menjadi
run-off. Aliran inilah yang menjadi penyebab utama banjir. Kecepatan aliran
run-off akan tergantung dari kemiringan lahan dan penutup lahan. Sedangkan
resapan air ke dalam tanah tergantung pada jenis tanah yang ada.
Faktor penutupan vegetasi cukup signifikan dalam
mempengaruhi pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat
mempunyai tingkat penutupan kanopi yang tinggi. Apabila hujan turun di wilayah
hutan tersebut, faktor kanopi vegetasi ini akan memperlambat kecepatan aliran
permukaan. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi non hutan, misalnya
menjadi permukiman, maka penutupan lahan kawasan ini akan mempunyai resistensi
untuk menahan aliran ini lebih kecil sehingga aliran permukaan akan tidak
tertahan dan inilah yang menyebabkan potensi banjir. Kondisi ini yang terjadi
di Wasior. Konon perubahan lahan hutan baik legal ataupun illegal telah terjadi
sangat signifikan di wilayah ini khususnya di hulu sejak puluhan tahun terakhir
ini. Terjadi penebangan hutan untuk pemekaran kota di sekitar areal hutan.
Wilayah yang mempunyai kemiringan dengan vegetasi yang
relatif rapat serta lokasi yang tidak jauh dengan hilir (dekat laut) semula
mempunyai keseimbangan dari air yang banyak terinfiltrasi masuk ke dalam tanah
melalui batang tumbuhan, dan kondisi tanah yang subur karena laju alirannya
dapat diperlambat oleh adanya vegetasi-vegetasi, dan ketika keseimbangannya
terganggu (vegetasi berkurang karena dialih fungsikan sebagai permukiman, air
permukaan cepat), ketika runoff dari
permukaan yang terbuka terhalang oleh vegetasi yang masih tersedia sebagian
akan masuk dan dipertahankan sampai kondisi yang maksimum, sampai tingkat
kejenuhan tertentu (tanah yang bervegetasi tidak mampu menyerap air lagi) akan
melepaskan tenaga yang berupa air yang berlumpur dengan kecepatan arus yang
relative cepat dan menyebabkan banjir bandang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar