Jumat, 09 Desember 2011

Analisis masalah sosial akibat gempa di Padang dan Jambi


Masalah sosial yang terjadi di Indonesia terutama di kota-kota setelah mengalami gempa sangatlah terasa.  Rabu pekan terakhir September silam, tak terhitung bangunan di berbagai kota dan kabupaten di Ranah Minang, roboh. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat, gempa tektonik yang mengguncang Sumbar berkekuatan 7,6 skala Richter (SR). Pusat gempa berada pada 57 kilometer sebelah Barat Laut Pariaman, Sumbar, sedalam 71 kilometer di bawah permukaan laut.

Kerusakan  bangunan di kota Padang dan Pariaman mencapai 80% dan yang terparah adalah kota Pariaman. Gempa tersebut merusak infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, sampai rumah - rumah warga. Sementara  itu, para korban mengungsi ke daerah yang aman maupun posko yang telah disediakan pemerintah dan berbagai pihak dan mendirikan tenda sebagai tempat bernaung. Kondisi para pengungsi ini sangat memprihatinkan.

Setelah bantuan makanan, obat-obatan, dan pakaian, berbagai kebutuhan dan penanganan selanjutnya perlu segera dipenuhi. Di antaranya adalah pendidikan anak-anak, penanganan trauma khususnya bagi anak-anak , serta perbaikan rumah dan fasilitas umum. Selain kebutuhan langsung tersebut ada satu aspek yang efeknya tidak langsung dirasakan namun membahayakan jika dibiarkan. Yakni kesehatan lingkungan. Gempa besar itu turut merusak berbagai fasilitas lingkungan, seperti MCK, septic tank, saluran limbah, sumur, tempat pembuangan sampah, saluran air bersih, dan lainnya. Fasilitas ini dalam kondisi normal menjadi media yang menjamin kebersihan dan kesehatan suatu lingkungan. Tidak berfungsinya fasilitas ini dengan demikian akan mengkhawatirkan munculnya bermacam penyakit menular. Setiap tempat tinggal manusia membutuhkan fasilitas lingkungan. Dikarenakan setiap saat manusia itu menghasilkan limbah dan membutuhkan air bersih. Demikian pula pada tempat tinggal sementara penduduk pasca gempa di pengungsian. Beberapa hari pasca gempa berbagai penyakit mulai mengancam para pengungsi. Seperti diare, disentri, infeksi saluran pernafasan, demam berdarah, malaria, dan sebagainya. Tanpa penanganan kondisi ini tentu dapat memperparah penderitaan korban. Bahkan, menimbulkan korban baru. Mulai sakit hingga meninggal dunia. Karenanya, bersamaan dengan program tanggap darurat prioritas yang layak segera diperhatikan adalah tanggap lingkungan. Yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani masalah lingkungan pasca bencana.
Berbagai bantuan dana mengalir dari berbagai lapisan masyarakat. Tapi yang perlu kita tahu adalah dana pelantikan tidak sebanding dengan dana bantuan gempa di Sumatera Barat. Angka pelantikan sebesar Rp 46 miliar lebih di atas dibandingkan dengan dana tanggap darurat gempa di Padang ternyata hampir seperlimanya. Menurut Menkeu, pemerintah mengeluarkan dana tanggap sebesar Rp 250 miliar. Dana ini diperkirakan cukup untuk membiayai tanggap darurat selama dua bulan. Empati perorangan memang penting. Tapi kesadaran secara kelembagaan di institusi wakil rakyat lebih dibutuhkan. Rp 46 miliar untuk 692 “wakil rakyat” yang hanya beberapa jam, berbanding dengan Rp 250 miliar untuk 200.000 korban gempa selama dua bulan. Hal itu seharusnya menjadikan para wakil rakyat introspeksi diri dengan mengutamakan  kepentingan rakyat yang terkena gempa daripada untuk kesenangan segelintir orang saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar