Masalah
sosial yang terjadi di Indonesia terutama di kota-kota setelah mengalami gempa
sangatlah terasa. Rabu pekan terakhir
September silam, tak terhitung bangunan di berbagai kota dan kabupaten di Ranah
Minang, roboh. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat,
gempa tektonik yang mengguncang Sumbar berkekuatan 7,6 skala Richter (SR).
Pusat gempa berada pada 57 kilometer sebelah Barat Laut Pariaman, Sumbar,
sedalam 71 kilometer di bawah permukaan laut.
Kerusakan bangunan di kota Padang dan Pariaman mencapai
80% dan yang terparah adalah kota Pariaman. Gempa tersebut merusak
infrastruktur seperti rumah sakit, sekolah, sampai rumah - rumah warga.
Sementara itu, para korban mengungsi ke
daerah yang aman maupun posko yang telah disediakan pemerintah dan berbagai
pihak dan mendirikan tenda sebagai tempat bernaung. Kondisi para pengungsi ini
sangat memprihatinkan.
Setelah
bantuan makanan, obat-obatan, dan pakaian, berbagai kebutuhan dan penanganan
selanjutnya perlu segera dipenuhi. Di antaranya adalah pendidikan anak-anak,
penanganan trauma khususnya bagi anak-anak , serta perbaikan rumah dan
fasilitas umum. Selain kebutuhan langsung tersebut ada satu aspek yang efeknya
tidak langsung dirasakan namun membahayakan jika dibiarkan. Yakni kesehatan
lingkungan. Gempa besar itu turut merusak berbagai fasilitas lingkungan,
seperti MCK, septic tank, saluran limbah, sumur, tempat pembuangan sampah,
saluran air bersih, dan lainnya. Fasilitas ini dalam kondisi normal menjadi
media yang menjamin kebersihan dan kesehatan suatu lingkungan. Tidak
berfungsinya fasilitas ini dengan demikian akan mengkhawatirkan munculnya
bermacam penyakit menular. Setiap tempat tinggal manusia membutuhkan fasilitas
lingkungan. Dikarenakan setiap saat manusia itu menghasilkan limbah dan
membutuhkan air bersih. Demikian pula pada tempat tinggal sementara penduduk
pasca gempa di pengungsian. Beberapa hari pasca gempa berbagai penyakit mulai
mengancam para pengungsi. Seperti diare, disentri, infeksi saluran pernafasan,
demam berdarah, malaria, dan sebagainya. Tanpa penanganan kondisi ini tentu
dapat memperparah penderitaan korban. Bahkan, menimbulkan korban baru. Mulai
sakit hingga meninggal dunia. Karenanya, bersamaan dengan program tanggap
darurat prioritas yang layak segera diperhatikan adalah tanggap lingkungan.
Yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani masalah lingkungan pasca
bencana.
Berbagai
bantuan dana mengalir dari berbagai lapisan masyarakat. Tapi yang perlu kita
tahu adalah dana pelantikan tidak sebanding dengan dana bantuan gempa di
Sumatera Barat. Angka pelantikan sebesar Rp 46 miliar lebih di atas
dibandingkan dengan dana tanggap darurat gempa di Padang ternyata hampir
seperlimanya. Menurut Menkeu, pemerintah mengeluarkan dana tanggap sebesar Rp
250 miliar. Dana ini diperkirakan cukup untuk membiayai tanggap darurat selama
dua bulan. Empati perorangan memang penting. Tapi kesadaran secara kelembagaan
di institusi wakil rakyat lebih dibutuhkan. Rp 46 miliar untuk 692 “wakil
rakyat” yang hanya beberapa jam, berbanding dengan Rp 250 miliar untuk 200.000
korban gempa selama dua bulan. Hal itu seharusnya menjadikan para wakil rakyat
introspeksi diri dengan mengutamakan
kepentingan rakyat yang terkena gempa daripada untuk kesenangan
segelintir orang saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar