Jumat, 09 Desember 2011

SUKU KAJANG


KEHIDUPAN SUKU KAJANG
DI SULAWESI SELATAN

Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa adalah sebuah suku yang terdapat pada kebudayaan Sulawesi Selatan. Masyarakat Kajang bisa di jumpai pada Kabupaten Bulukumba lebih tepatnya kecamatan Kajang. Sebuah Suku Klasik yang masih kental akan adat istiadatnya yang sangat sakral.

Suku Kajang adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Makassar, Sulawesi Selatan. Secara turun temurun, mereka tinggal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Bagi mereka, daerah itu dianggap sebagai tanah warisan leluhur dan mereka menyebutnya, Tana Toa. Di Tana Toa, suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, Kajang Dalam dan Kajang Luar. Suku Kajang Luar hidup dan menetap di tujuh desa di Bulukumba. Sementara suku Kajang Dalam tinggal hanya di dusun Benteng. Di dusun Benteng inilah, masyarakat Kajang Dalam dan Luar melaksanakan segala aktifitasnya yang masih terkait dengan adat istiadat. Meskipun suku Kajang terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya. Sejak dulu hingga kini, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan para leluhur.

Masyarakat adat Ammatoa tinggal berkelompok dalam suatu area hutan yang luasnya sekitar 50 km. Bahasa bugis Konjo yang kental merupakan bahasa suku yang selama ini sebagai media komunikasi antar sesama masyarakat suku kajang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada satupun perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti Radio dan televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur. Mereka tidak mudah untuk menerima budaya dari luar daerah.
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. Tidak ada warna hitam yang lebih baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan. Pakaian hitam ini ditenun sendiri oleh masyarakat di sana dengan bahan alami dan alat-alat yang sederhana. Konon, sarung hitam yang memang asli diproduksi dari kawasan adat Kajang ini dapat dijadikan obat dengan memakainya saja atau menggosokkan pada bagian yang sakit.
Suku Kajang Dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah Adat Suku Kajang bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masayarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya. Dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang harus mematuhi beberapa aturan adat yang berlaku. Salah satunya, mereka hanya boleh membangun rumah dari kayu.  Rumah tidak boleh dari batu bata ataupun tanah. Bagi mereka, hanya orang matilah yang diapit tanah. Sementara rumah untuk tempat orang hidup. Jika rumah dari batu bata ataupun tanah, meskipun penghuni rumah itu masih hidup, mereka akan dianggap mati oleh seluruh masyarakat Kajang.
Semua rumah warga dibangun dari bahan yang sama. Bangunan rumahnya terbuat dari kayu. Sementara atapnya terbuat dari ijuk. Tidak hanya bahan, bentuk rumahnya juga sama. Bahkan model dalam rumah pun sama. Rumah adat kajang tidak seperti rumah pada umumnya, karena saat masuk pertama kali, yang dijumpai adalah dapur, kemudian ruang tamu. Rumah- rumah tersebut antara dapur dan ruang tamunya tidak bersekat. Ini juga merupakan symbol penghormatan dan keterbukaan pada tamu, yang berarti apapun yang dimakan oleh sang empunya rumah, maka tamu juga berhak memakannya. Konon, konsep ini tidak hanya menunjukkan kesederhanaan. Mereka juga menganggapnya sebagai simbol keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara masyarakat Suku Kajang.

Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertata rapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Ammatoa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Ammatoa berada beberapa rumah dari utara.
Persamaan lainnya adalah umumnya mereka hidup dengan bertani dan beternak. Biasanya mereka menanam padi, palawija, dan sayur-sayuran. Sedangkan hewan peliharaannya kebanyakan kuda, sapi dan ayam.
Hal unik yang dimiliki masyarakat Kajang yang membedakan dengan masyarakat lainnya adalah sebuah keluarga masyarakat adat Kajang, jika memiliki dua bidang tanah, hanya sebidang yang digarap dan ditanami pada satu musim tanam. Sementara sebidang lagi dijadikan tempat penggembalaan ternak. Hal ini dilakukan bergantian pada dua bidang tanah itu. Cara tersebut sebenarnya dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah.
Terkait dengan penghormatan atas tanah, hutan yang juga merupakan bagian kawasan adat ammatoa, mempunyai arti yang sakral. Bagi masyarakat adat, kawasan adat ammatoa terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah hutan rakyat yang luasnya sekitar 98 hektare. Kawasan ini digarap bersama dan hasilnya dinikmati bersama pula. Kawasan kedua disebut hutan kemasyarakatan seluas 144 hektare. Hutan di lokasi ini boleh digarap, dengan syarat terlebih dahulu menanam bibit pohon pengganti, sebelum sebuah pohon ditebang. Kawasan terakhir adalah hutan adat atau hutan pusaka seluas 317 hektare yang hanya boleh digunakan untuk kegiatan ritual pemilihan ammatoa pada saat pergantian kepemimpinan. Bagi masyarakat adat, mematahkan ranting saja haram hukumnya. Bagi yang melanggar akan dikenai sanksi berat, misalnya dikeluarkan dari komunitas adat atau diyakini bakal mendapat malapetaka, karena melanggar pesan leluhur.

Di Tana Toa, orang pertama tersebut dikenal dengan nama Ammatoa, tetua adat Suku Kajang. Bagi mereka, Ammatoa dianggap sebagai orang suci. "Suara alam adalah suara Tuhan" merupakan pedoman warga Suku Kajang yang tinggal di pedalaman Bulukumba, Sulawesi Selatan, dalam memilih pemimpin adat mereka. Kepercayaan ini membuat seorang pemimpin adat yang kerap disebut Ammatowa sebagai orang suci. Ammatoa sangat dihormat dan sangat dipercaya, terutama untuk menjaga Pasangnga Ri Kajang. Kepercayaan yang terpenting adalah menjaga kelestarian hutan, karena hutan merupakan jiwa dan kehidupan warga Kajang.
Menjadi seorang Ammatoa membutuhkan pengorbanan besar. Rakyat percaya bahwa sang Ammatoa adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran bila penduduk Tana Toa mengalami kemakmuran, namun menjadi orang pertama yang akan merasakan kemiskinan. Menjadi seorang Ammatoa tidak mudah, jabatan seumur hidup. Pengangkatannya melalui beberapa ritual. Pemilihan Ammatoa dapat dikatakan cukup mistis. Upacara adatnya disebut Panganro. Saat penduduk memilih beberapa calon untuk menjadi Ammatoa, para calon tadi berjalan masuk ke hutan. Tidak seorang pun yang hingga saat ini mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan. Konon, hanya calon yang terpilihlah yang mampu masuk ke dalam hutan dan kembali dengan selamat. Masyarakat percaya bahwa Ammatoa dipilih sendiri oleh Turiak Rakna atau Tuhan sendiri, lalu diberikan kemampuan untuk menjaga kelestarian hutan dan berkomunikasi dengan para leluhur penjaga hutan. Apabila Ammatoa meninggal (bahasa Kajang: linrung), maka seorang pejabat adat baru akan ditunjuk untuk memimpin selama 3 tahun, setelah itu seorang Ammatoa baru dapat dipilih oleh warga.
Di bawah kepemimpinan Ammatowa dan kelima pemuka adat, kebiasaan-kebiasaan leluhur tetap dijalankan. Justru dengan kebiasaan ini swasembada segala faktor kehidupan dapat terus berjalan. Menurut kepala desa, salah satu kebiasaan yang harus dijalankan adalah kewajiban seorang wanita membuat pakaian untuk anggota keluarganya.  Masyarakat Kajang juga diwajibkan untuk menghormati tanah leluhur. Salah satunya, hutan. Mereka menganggap hutan sebagai ibu.  Oleh masyarakat Kajang, ibu dianggap sebagai orang yang harus selalu dihormati.  Sebagai wujud penghormatan, mereka diwajibkan untuk menjaga dan memelihara hutan.  Jika ada warga yang menebang hutan secara liar, ia akan dikenakan sanksi adat.  Karena mereka percaya, menebang hutan secara liar akan membuat Turiek Arakhna (Turi Arakna) murka.  Kemurkaan-Nya akan membawa kutukan bagi masyarakat Kajang.  Kutukan itu dapat berupa penyakit bagi orang yang menebang hutan. Mereka juga percaya, kutukan itu juga dapat berupa musibah atau bencana bagi Tana Toa.
Selain percaya terhadap adat Ammatoa, Suku Kajang juga memiliki kepercayaan agama. Namanya, ajaran Patuntung.  Dalam bahasa Makassar, Patuntung berarti mencari sumber kebenaran.  Berdasarkan ajaran Patuntung, jika manusia ingin mencari kebenaran harus menjalankan tiga pilar hidup.  Pertama, menghormati Turiek Arakhna (Turi Arakna) yaitu Tuhan. Kedua, masyarakat Kajang juga harus menghormati tanah yang diberikan Tuhan. Dan yang ketiga yaitu menghormati nenek moyang.  Kepercayaan dan penghormatan terhadap Tuhan merupakan keyakinan yang paling mendasar dalam ajaran agama Patuntung.  Mereka percaya, Turiek Arakhna adalah Tuhan Yang Maha Kekal, Mengetahui, Perkasa dan Maha Kuasa. Mereka menyakini, Turiek Arakhna menurunkan perintah kepada orang pertama.
Dalam ajaran agama Patuntung, suku Kajang juga diwajibkan untuk menghormati nenek moyang atau roh para leluhur.  Begitu hormatnya, setiap tahun mereka selalu mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh leluhur.  Mereka menyebutnya, ritual bersih kubur.
Di kalangan masyarakat Suku Kajang, ritual Bersih Kubur memiliki arti penting. Mereka menganggap, ritual ini sebagai wujud komunikasi masyarakat Kajang dengan roh leluhur.  Begitu pentingnya, setiap keturunan Suku Kajang harus hadir ketika ritual ini dilaksanakan.  Bahkan meskipun telah tinggal di luar Tana Toa, ia harus tetap datang untuk menjalin kembali komunikasi dengan nenek moyang.
Setiap tahun, ritual Bersih Kubur selalu dilaksanakan pada tanggal 24 bulan Ramadhan dalam Hijriah.  Ketika hari ritual telah tiba, semua masyarakat Kajang berkumpul di makam Bohetomi. Di Tana Toa, makam ini merupakan makam Ammatoa pertama suku Kajang.  Ritual membakar kemenyan dan berdoa di makam selalu menjadi bagian terpenting. Dalam ritual, Kemenyan menjadi simbol bahwa restu dari leluhur selaui menyertai kehidupan masyarakat Kajang.  Sementara doa menjadi simbol penghormatan kepada roh leluhur.  Ketika ritual Bersih Kubur dilaksanakan, mereka juga selalu memberikan sesaji berupa sirih pinang. Sesaji itu dipersembahkan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur.  Sebagai penutup acara, mereka juga melaksanakan acara makan bersama di rumah tetua adat. Acara makan bersama dilaksanakan pada malam hari.  Bagi mereka, makan bersama menjadi tanda bahwa seluruh rangkaian ritual telah usai dilaksanakan.  Tak hanya itu, makan bersama juga menjadi simbol bahwa hingga kini, masyarakat Kajang tetap melaksanakan pesan leluhur.
Turun temurun, masyarakat Suku Kajang di Tana Toa tetap menjalankan ajaran Patuntung.  Aturan adat Ammatoa juga selalu mengikat setiap aktifitas kehidupan mereka.  Konon, ajaran dan aturan itulah yang membuat mereka selalu hidup sederhana.  Kesederhanaan menjadi wujud kebersamaan. Dan kebersamaan itulah yang membuat Suku Kajang selau hidup rukun dan berdampingan.
Di Tana Toa, masyarakat Kajang tidak hanya diwajibkan untuk patuh terhadap ajaran agama Patuntung dan Ammatoa.  Mereka juga wajib untuk menghormati kaum perempuan. Posisi perempuan di dalam adat sangat-sangat dihormati. Salah satu contoh adalah apabila di sebuah sumur ada perempuan, maka laki-laki  tidak boleh mendekati sumur itu. Setelah  kaum wanita selesai mandi atau menyelesaikan hajatnya dan mengambil air untuk pulang, baru laki-laki boleh kesana. Dan kalau tidak dipatuhi maka akan ada denda sebagai pelanggaran asusila. Sebab terdapat pantangan, laki-laki tidak boleh mendekati seorang wanita di sumur. Hukumannya itu bisa nyawa.
Membuat pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat melangsungkan pernikahan. Sehingga dalam kehidupannya wanita tanpa keahlian membuat pakaian, tidak dapat menikah. Pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional, mulai dari pembuatan benang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar kain. Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kain dan memasak. Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuat perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga.
Luasnya sawah milik warga Suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggal merupakan suatu anugrah tersendiri. Dengan luasnya sawah yang menghasilkan berton-ton padi setiap tahun, warga Suku Kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan. Anugrah ini sangat disyukuri oleh segenap warga. Sehingga setiap usai panen mereka selalu menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta. Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa.
Di sawah milik Ammatowa ini persiapan upacara Rumatang mulai dilakukan sejak pagi hari. Saat itu kaum wanita telah datang dan mulai memasak makanan di bawah gubuk milik Ammatowa. Berbagai jenis makanan khas Suku Kajang mulai dipersiapkan untuk keperluan upacara adat dan makan siang bersama. Persiapan di tepi sawah ini dipimpin oleh seorang wanita tua yang telah mengetahui jenis makanan yang harus dipersiapkan untuk sesaji. Dibawah petunjuknya, kaum wanita mulai memasak berbagai jenis makanan, termasuk nasi dengan empat warna.
Di saat kaum wanita sibuk mempersiapkan sesaji, kaum pria juga mulai mengikat padi hasil panen mereka menjadi ikatan-ikatan besar. Usai diikat, padi hasil panen ini dijemur di bawah terik matahari. Tengah hari, merupakan pertanda upacara harus dilangsungkan. Sebelum memulai upacara puncak, warga Suku Kajang berkumpul dibawah bilik untuk makan siang bersama. Uniknya makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu. Nasi yang dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminum sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut "ballo". Semua kaum pria wajib meminum ballo dari gelas yang sama sebagai simbol persaudaraan.
Usai makan siang, kaum pria ditugaskan untuk membawa padi yang telah diikat menuju ke desa mereka. Padi mereka bawa dengan menggunakan sebilah kayu. Mereka berjalan menyusuri pematang sawah dengan menempuh jarak sekitar 10 kilometer. Namun beban berat dan berjalan jauh tidak mereka rasakan karena rasa senang akan hasil panen yang berlimpah. Setelah kaum pria kembali ke sawah, upacara "rumatang" yang mempunyai arti ucapan syukur kepada Maha Pencipta dimulai. Mereka berkumpul di bawah bilik untuk mengucapkan doa dan memberkati sesaji yang akan di persembahkan kepada Tuhan.
Delapan buah sesaji yang telah dipersiapkan mulai disusun di bilik di tepi sawah. Sesaji berupa nasi empat warna, lauk pauk, buah-buahan ini diberkati oleh Ammatowa dalam upacara Rumatang. Usai diberkati, sesajen ini dibawa oleh warga ke delapan tempat terpisah sesuai arah mata angin. ada yang diletakkan di sawah dan ada juga yang ditempatkan di sumber air. Peletakan sesaji ini bermakna hasil panen tidak hanya dinikmati oleh manusia saja. Melainkan tanah, angin dan semua unsur di bumi yang membantu panen berhasil, juga ikut merasakan hasilnya.

1 komentar: